Monday, November 28, 2011

For Fast, Relaxing Meeting

Grand Indo is too big. Grand Indo is too complicated. I used to be confused with East Mall and West Mall. The layout of this 'grand' mall can actually be simplified, somehow. If can avoid having a meeting or shopping at Grand Indo, I'd rather to do that.


However, there are occassions that forced me to visit this place, whether I like it or not. Mostly is job related: press conference, visiting an 'ice cream' cafe from my previous employer, and guess what, thought one of my best friend's office is at Grand Indo, so she likes to invite us to have lunch there (terpaksa, hahaha). My usual question when having an appointment there: East or West? Hey, I don't have luxurious time to searching around in such big stores.


Well then ... I began to be familiar with this place, as much as I started to love Level One and a Thamrin street view from Social House. It's still quite painful when having a meeting at level 3, jauh benerrrr (or even they have level 3A, to add a complication, well, that's another story of not using number 4 like most buildings do).



My point of sharing this story is, I found a new coffee shop which location is perfecto! When we arrive at main lobby East Mall, turn right and not far from there, you will find Illy Coffee Shop on the left side. The place is cozy and not so many people walking around those areas. It's perfect for reading books or a relaxing meeting. What I like from this spot are some cute details in serving the customers. Illy Coffee itself, you know, has an undoubtful taste, no one will complain about it.


Oh by the way, when proposing a meeting in Grand Indo with the owner of one PR Consultant (see... from avoiding, now proposing, can u believe that?), she said, "Duuuhh, jangan di situ deh, aku kuper nih, nda biasa ke sana, gede banget, gak hafal....". I can feel you, but hey, don't give up. Let's have a meeting in East Mall, Illy Coffee*


*bukan iklan ya jo... not a paid article.


(written by Vera Makki - http://kopiluwakstory.blogspot.com/)

Coffee at Fullerton, SG

Ada tiga hal yang dapat dinikmati dari secangkir kopi. Pertama, harum kopi saat penyeduhan; kedua, citarasa kopi itu sendiri; dan ketiga, paling tidak buat saya, yang tak kalah penting adalah penyajiannya.


Salah satu yang sangat saya nikmati adalah saat ketiganya menyatu di suatu pagi saat derasnya hujan menjadi pemandangan di balik kaca coffee shop Fullerton Hotel, Singapore. Pikiran pun melayang jauh hingga terbawa perahu yang terlihat menyusuri bawah jembatan Cavenagh Bridge. Di seberang terlihat beberapa orang tetap berjalan kaki melintasi bangunan tua masa Raffless. Pikiran saya pun seolah mengalami napak tilas ke ratusan tahun lalu saat Inggris masih menduduki negara tersebut.


Kopi memang memberikan dampak luar biasa bagi pikiran dan jiwa, saat raga usai menyatukan seluruh partikel kimiawi dalam tubuh setelah beberapa jam lelap di bawah sadar. Dari ketiga aspek kekuatan kopi, kali ini kenikmatan lebih kepada mata yang dimanjakan dengan sajian kopi dalam silver pot dan ambiance Fullerton yang sulit didapat dari hotel-hotel lain di Singapore. Rasa dari kopi itu pun menjadi tidak luar biasa, yang sudah tentu belum bisa mengalahkan kopi Indonesia yang memang "benar-benar kopi".

(written by Vera Makki - http://kopiluwakstory.blogspot.com/)




Wednesday, February 09, 2011

RAHASIA KOPI PAPUA ...


Saat menghadiri Obsat (Obrolan Langsat) beberapa waktu lalu, saya bertemu dengan @jeannyferrari, teman lama yang belakangan ini menaruh minat di bidang kopi. Ternyata, suami Jeanny, Edry Siswandi, sedang merintis memasarkan kopi Papua di Indonesia. Berikut adalah hasil obrolan saya dengan Jeanny... enjoy reading!




Darimana asal kopi tersebut?
Kopi diambil dari perkebunan di Pegunungan Tengah Papua, sekitar Nabire.

Brand Kopi Papua ini bernama Sombar. Artinya?
Edry yang memberikan nama Sombar, artinya tempat berteduh (shading). Biasanya teman-teman di Indonesia Timur menyebut berteduh dengan kata ‘Sombar’. Pohon kopi arabika butuh shading, biasanya yang dipakai untuk shading adalah pohon lamtorogung (pete cina) utk peneduh dan mengurangi hembusan angin (wind breaker).

Filosofi di balik pengambilan nama Sombar, kita ingin brand ini menjadi peneduh & pelindung untuk semua kopi arabika Indonesia. Tanpa ada Sombar, kopi Arabika Indonesia menjadi kurang greget hehe..

Apakah kopi ini dianggap sebagai sesuatu yang baru?
Perkebunan kopi ini sebenarnya sudah ada sejak1937, dibawa oleh misionaris.
Kopi tersebut tidak ada yang memasarkan, hingga 2009, saat Edry di Nabire mulai berkenalan dengan kopi nikmat ini. Sebelumnya, hanya diminum oleh penduduk Nabire aja.

Apa yang membuat kalian tertarik dengan penjualan kopi ini?
Awalnya ketika Edry bekerja di Aceh tahun 2007, ia sempat jalan ke Gayo. Disana ia melihat kopi Gayo industrinya maju, ekspor besar karena diminati dunia. Dari situ Edry mulai belajar tentang kopi, dan kemudian melihat bahwa kopi Indonesia banyak yang bagus dan dinikmati penduduk dunia. Sayangnya produksi kopi Indonesia rendah sekali dibandingkan dengan potensi yang ada. Inilah yang membuat Edry tertarik untuk terjun ke bisnis kopi, selain ia juga penggemar kopi.

Pada saat bekerja di Nabire, Edry berkenalan dengan kopi Pegunungan Tengah ini. Melihat pemasarannya terbatas sekali karena sulitnya transportasi, ia tertarik untuk mengembangkan penjualan. Latar belakang pengalaman Edry memang di bidang marketing & sales.

Dicoba tes produk, market study di Jakarta ternyata banyak yang senang dengan kopi ini, sambutannya bagus. Semakin semangatlah kita buat mengembangkan kopi ini.

Apa keunggulan kopi Papua?
Kopi ini organik, walaupun tidak didaftarkan untuk certified, tetapi kami sudah melihat sendiri perkebunannya yang memang masih sangat tradisional. Selain itu dari segi aroma & taste, kopi ini memiliki keunikan yang membedakan kopi Sombar Nabire dengan kopi Indonesia lain. Kopi ini sudah di-cupping juga oleh Q gradder dengan hasil yang sangat baik.

Bagaimana cara penyajiannya yang pas?
Tergantung selera. Bisa ditubruk biasa, french press, pour over, syphon, coffee maker, atau moka pot.

Apa langkah kedepan dalam mengembangkan bisnis ini?
Meningkatkan kualitas, menerapkan lebih banyak ilmu tentang roasting agar rasa & aromanya lebih mantap. Kedua, meningkatkan varian Sombar, bukan hanya dari Papua tetapi juga dari daerah-daerah lain yang kopinya enak namun kesulitan penetrasi di pasar. Kami juga ingin bisa melakukan kampanye, agar lebih banyak masyarakat Indonesia yang paham bahwa kopi nasional itu lebih bagus dari kopi impor. Kami ingin melakukan penetrasi pasar di dalam negeri (retail & cafe), tentunya juga ingin ekspor.

Bagaimana prospek bisnis kopi Sombar?
Peluang terbuka lebar, karena keunikan aroma dan citarasanya. Penyuka kopi Papua berkembang mengingat pencinta kopi sekarang bukan hanya usia mapan, tapi usia muda juga mulai banyak yang sudah menghargai kopi lokal. Untuk pasar Indonesia, peluangnya masih sangat banyak.

Dukungan apa yang dibutuhkan dari para pecinta kopi?
Kami sangat berterima kasih apabila menerima kritik membangun dan membantu memperkenalkan/rekomendasi ke orang lain (word of mouth).

Apa harapan terhadap kopi ini?
Kalau kopi ini berkembang, harapan idealisnya bisa membantu petani nasional, menciptakan lapangan kerja, sehingga para petani yang di daerah tertinggal juga bisa terbantu pendapatannya, tidak tergantung dari bantuan pemerintah.

Apakah ada pihak lain yang memasarkan kopi ini ke Jakarta?
Tidak ada, sejauh ini hanya kami.

Di kota mana saja kopi ini dipasarkan?
So far baru ada di Jakarta & Nabire. Saat ini masih dalam tahap market study, direncanakan dalam waktu dekat saluran distribusinya akan lebih banyak.

Berapa harga kopi ini?
Untuk ritel kemungkinan di sekitar harga Rp 60,000-an per pack 200 gram.

OK Jeanny dan Edry, sukses ya buat bisnis kopi Papuanya! (Pssst... saya sudah nyoba loh kopi ini... rasanya muantabzzz!!!)

(*written by Vera Makki* - http://kopiluwakstory.blogspot.com/)

Saturday, January 29, 2011

Berkah Kopi dari Lombok



Awal Januari lalu saya bersama kedua anak saya dan pengasuhnya berkunjung ke Taman Bacaan Anak Lebah (TBAL) di Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang kami dirikan bekerjasama dengan sekolah PAUD (pendidikan anak usia dini) setempat. Berbeda dengan tahun lalu, kali ini memang si kecil, 4 tahun, saya ajak juga untuk melihat teman-temannya di pelosok desa Lombok Timur, agar ia tahu kehidupan dengan warna berbeda dari yang sehari-hari ia lihat di Jakarta.

Aktivitas pagi itu cukup padat, kami memulai perjalanan pukul 7 pagi, mengingat lokasi 4 buah TBAL tersebut terletak di wilayah terpencil Lombok. Bu Mukanah, pembina TBAL sudah siap tepat waktu di hotel dan kita pun sarapan di mobil. Sayangnya, saya tidak sempat ngopi. Hiks...

Di lokasi pertama, kami senang sekali karena anak-anak telah berkumpul di gelaran teras depan kelasnya (sebenarnya ini ruang tamu pemilik rumah yang disulap menjadi ruang belajar setiap pagi). Anak-anak terlihat asyik membaca buku dan saya sempatkan untuk membacakan satu buku untuk mereka, mengenai cara berpakaian yang baik.

Di awal pembukaan, saya bertanya, “Siapa yang sudah sarapannnn???”. Beberapa tunjuk tangan, beberapa terlihat hanya menatapi saya, beberapa geleng-geleng kepala. Saya sempat terhenyak melihat mereka yang geleng-geleng kepala, khawatir mereka tidak sempat makan bukan karena tidak berkenan (seperti anak-anak saya yang susah sarapan), namun karena tidak ada makanan yang dapat disajikan ibunya di meja makan. Beberapa detik kemudian saya langsung mengalihkan perhatian, saya pikir, kehadiran saya harus membawa keceriaan kepada anak-anak. “Untuk yang sudah sarapan, hayooo... makan apa tadi pagi?”. Anak yang lucu itu pun sanggup mengundang tawa seluruh ruangan, “Ikan Paus!!!!”. Hahaha....

Setelah selesai, kami pun beranjak menuju lokasi PAUD selanjutnya. Senangnya saya karena berbagai poster Taman Bacaan Anak Lebah bertuliskan pesan-pesan singkat seperti, “Membaca itu Menyenangkan”, “Buku Membuat Kita Pintar”, dan spanduk “Selamat Datang di Taman Bacaan Anak Lebah” yang saya kirim sebelumnya, telah terpampang rapi.

Di lokasi ketiga yang terletak di pinggir sawah luas nan hijau, waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 siang. Di sana kami mengadakan pertemuan dengan para tutor dan pembina PAUD untuk berdiskusi mengenai perkembangan taman baca. Di akhir sesi saya memberikan tips singkat bagaimana menata buku-buku dan mainan donasi di lemari agar terlihat rapi dan menarik bagi anak-anak.

Kami beranjak sekitar pukul 13.00, saatnya makan siang! Namun anak-anak belum lapar karena sudah ngemil, saya dan bu Mukanah pun juga ingin segera ke lokasi taman bacaan terakhir untuk menghemat waktu. Niat saya untuk mencari kopi tertunda lagi, padahal sudah ingin sekali menikmati kopi panas yang seharusnya saya minum pagi tadi.

Akhirnya pukul 2 siang kami tiba di lokasi terakhir. Tempatnya di gang, mobil tidak dapat masuk. Kami pun menyusuri jalan setapak yang kemudian di tengahnya dekat mesjid terdapat semacam pendopo sederhana yang dijadikan taman bacaan. Angin semilir yang masuk ke pendopo, ditambah dengan ubin yang sejuk membuat kami betah lesehan di lokasi tersebut.

Yang dahsyat, di saat sedang berinteraksi dengan para tutor, datanglah rezeki secangkir kopi tubruk panas yang luar biasa nikmat. Panasnya pas, manisnya pas, kekentalannya pas!!! *senyum lebaaarrrrr*. Ternyata berkah kopi hadir di saat saya tidak mengharapkannya. What a nice surprise, Alhamdulillah (thanks to bu Mariana, mitra saya pemilik PAUD Melati).


(*written by Vera Makki* - http://kopiluwakstory.blogspot.com)